Gudang Cinta Story by Ozzy

Ilustrasi (sumber: google)
Lanjutan cerita dari gudang cinta by ozzy.

Setelah adzan, iqomah dan jamaah tertunaikan, Ibuku mengajakku untuk sowan ke dalem pengasuh pondok untuk shilaturrahmi dan menitipkanku di pondok.

Setelah lama kami menunggu, akhirnya keluar seorang perempuan setengah baya berbaju putih dan berkerudung putih menyambut dengan gembira kedatangan kami.

“Mbak Fatim. Monggo pinarak. Pripun kabare?” (Mbak Fatim, Silahkan duduk. Bagaimana kabarnya?) Sambutnya dengan mimik gembira dan ramah mengawali pertemuan.
“Nggeh Bu Nyai, alhamdulillah baik.” Jawab Ibuku sambil mencium tangannya.
“Alhamdulillah, sudah lama lho Mbak, sampean tidak main kesini. Kalau tidak salah terakhir empat tahun yang lalu ya?”
“Nggeh Bu Nyai, maaf tidak pernah sempat. Ya. Terakhir dulu waktu saya minta Abah sama Bu Nyai untuk memberikan do’a restu dalam pernikahan anak saya.”
“Oh iya, ini kan anak Mbak, Muhammad Wildan?”
“Nggeh.” jawab Kakakku sambil tersenyum kaget.
“Gimana Mas? kabar istri kamu, sudah berapa tahun usia anak kamu kok tidak pernah diajak main kesini sih?”
“Alhamdulillah baik, pangestunipun Bu Nyai. Anak saya baru saja belajar jalan.” Jawab Kakakku dengan sedikit tergambar wajah malu karena baru saja disindir oleh Bu Nyai gara-gara tidak pernah berkunjung.
“Oh alhamdulillah, kalau mas yang satu ini siapa Mbak, kok mbarik(red;ganteng)?” tanya Bu Nyai sambil bercanda.
“ Anak saya juga Bu Nyai, Fahmi namanya.”
“ Kok sama namanya dengan putra saya. Putra saya juga namanya Fahmi. Fahmi Abbas. Kalau mas Fahmi nama lengkapnya siapa?” Tanya Bu Nyai sambil tetap tertunduk. Memang jika aku amati Bu Nyai kalau berbicara selalu merundukkan kepala. Hanya mengangkat jika berbicara dengan Ibuku saja.
“ Ikhwan Fahmi Bu Nyai.”
“Alhamdulillah, kebetulan Mbak ya? namanya kembar. Mudah-mudahan bisa menjadi saudara yang baik seperti yang dicerminkan oleh Rasulullah dan Abu Bakar.”

Aku lihat perbincangan Ibuku dengan Bu Nyai sangat akrab sekali, seperti seorang teman yang sedang reuni yang sudah lama tidak bertemu. Sedangkan aku hanya diam sambil sesekali memandangi seisi rumah yang rapih dan tertata indah. Sebuah bingkai besar bergambar Ka’bah dan Masjidil Haram menghiasi dinding ruang tamu dengan kaligrafi dan kalender yang tertata bersandingan.

Saat mereka sedang sibuk mengobrol dan aku hanya terdiam, datang seorang laki-laki gagah, berwajah agak tua, berpostur tubuh tinggi dan berkulit putih bersih. Terus kupandangi setiap langkahnya, senyum sapanya menghiasi wajah ramahnya. Aku yakin dia adalah pengasuh pondok di mana Kakakku nyantri dulu, juga sekaligus teman akrab Bapakku seperti yang diceritakan Ibuku. Setelah dekat, tiba-tiba Kakakku bangun dan mencolek pahaku sebagai isyarat mengajakku untuk bangun dari dudukku. Kakakku menyalaminya dan mencium tangannya akupun mengikutinya. Kemudian kami duduk kembali.

“Apa kabar Bu.” Tanya pengasuh pondok kepada Ibuku mengawali perbincangan.
“Alhamdulillah baik.”
“Kamu Wildan? bagaimana kabar istri kamu dan anak kamu?”
“Alhamdulillah baik, pangestunipun Bah.” Jawab kakakku pelan. Terdengar kakakku memanggilnya dengan nama Abah. Sebutan yang cocok untuk seorang kiai. Terkesan lebih akrab. Membuatku ingin juga memanggil dengan sebutan itu.
“Alhamdulillah kalau gitu. Ini adikmu ya Dan, yang pernah kamu ceritakan sama abah, yang katanya ingin kamu pondokkan di sini.” Tanya Abah sambil memandang mataku, membuat aku lesu dan tak kuasa memandang balik karena kewibawaannya.
“Siapa nama kamu, cah mbarik?” Tanya Abah sambil bercanda.
“Saya Ikhwan Fahmi.” Jawabku dengan tetap tertunduk.

Saat suasana ruang tamu sedang ramai dengan perbincangan hangat dan sedikit canda-canda yang dibuat oleh Abah, datang dua orang gadis berbaju seragam serba merah muda dengan membawa lima gelas teh manis di atas penampan. Berjalan membungkuk menuju meja yang kami duduki, lalu menyuguhkan satu persatu gelas minuman yang dibawanya, sembari kubantu untuk mempercepat kerjanya. Karena aku yang duduk paling pinggir.

Saat gelas terakhir akan kuambil, tanpa sengaja pandangan mataku tertabrak dengan mata salah satu peremuan itu. Segera aku palingkan pandanganku. Aku tundukkan kembali. Karena aku takut dengan pandangan yang dapat membawaku hanyut dalam nafsu setan. Diapun langsung pergi setelah menyelesaikan tugasnya.

*****
(Untuk membaca selanjutnya, klik page berikut)

Waktu menunjukkan pukul 09.00 malam. Setelah aku merapihkan pakaian dan mendengarkan segala pesan dan nasihat dari Ibu dan Kakakku agar aku rajin belajar dan menghafal, dan jangan lupa dengan niat suci dari rumah serta jangan mengecewakan keluarga.

Malam itu terasa hening sekali, aku merasa sedih mendengar dan memandangi wajah Ibu. Malam itu aku tidak mau lepas dan jauh dari Ibu. Malam itu aku merasa kasih sayang Ibu benar-benar tertumpah sepenuhnya untukku. Aku jadi teringat pada Bapakku yang selalu mendidikku dan menasihatiku untuk tidak tergoda dengan keindahan dunia, karena keindahan dunia hanya sementara, keindahan yang abadi adalah keindahan akhirat. Tidak terasa mataku mengeluarkan air mata kesedihan. Entah kenapa aku sangat merindukan Bapak malam itu. Aku ingin sekali melihat Bapak tersenyum bahagia karena cita-citanya yang menginginkanku nyantri di pondok ini sekarang sudah tercapai.

Aku lihat wajah Ibu sudah mulai sayu karena kecapaian, mungkin karena perjalanan seharian yang melelahkan dari Pekalongan ke pondok yang cukup jauh, dan Ibupun belum istirahat. Aku persilahkan Ibu untuh istirahat terlebih dahulu di kamar tamu yang memang dikhususkan untuk tamu yang bermalam.

Sementara itu, aku sendirian dan termenung di depan pintu kamar. Aku mulai merangkai cita-cita dan langkah ke depan. Mulai kutulis satu persatu tujuan yang harus kucapai selama di pondok seperti yang diajarkan oleh bapakku.

Saat aku sedang asik menulis ini dan itu, tiba-tiba wajah gadis jelita si pengantar minuman itu datang menyusup ke otakku. Memang indah sekali parasnya. Putih, bersih, berbulu mata lentik, beralis tipis, bermata bening dan pipi merah dengan lesung yang menghiasi senyumnya, ditambah hidungnya yang mancung membuat semakin sempurna ciptaan Allah ini. Astaghfirullah..! aku telah terbuai keindahan dunia. Langsung kutepis bayangan itu dari otakku. Tapi susah sekali. Bahkan wajahnya terus tersenyum dan menari-nari di halaman buku yang sedang kubuka. Sulit sekali menghilangkannya. Walau kututup bukuku tapi bayangnya masih tetap ada dan semakin jelas. Saat kemanapun wajahku kupalingkan wajahnya selalu muncul di sana dengan senyum khasnya yang menampilkan keindahan lesungnya. Berkali-kali aku istighfar tapi tidak dapat menghilangkan bayangan wajahnya. Sehinngga membuatku terpaksa harus menikmati keindahannya. Tidak tahan dengan keindahan itu, kuputuskan untuk wudlu. Aku langsung menuju kulah untuk wudlu. Anehnya saat aku ingin mengambil air untuk membasuh mukaku, wajahnya kembali datang dan menari-nari di atas air. Ya Allah... apa yang sedang aku alami ini? Belum saja sehari aku di sini Kau sudah memberikanku cobaan yang berat sekali. Aku berdo’a dan ta’awudz lalu kupejamkan mata sambil berwudlu hingga selesai. Aku langsung kembali ke kamar tak menghiraukan yang sedang terjadi padaku, aku beristighfar dan berdo’a agar dijauhkan dari godaan setan. Sampai akhirnya aku tertidur.

Pagi hari setelah sarapan dan ramah tamah dengan Abah dan Bu Nyai. Ibu dan Kakakku mohon pamit pulang ke Pekalongan dan mengucapkan kata maaf karena telah merepotkan, sekaligus menitipkan aku kepada Abah agar di didiknya menjadi anak yang sholih. Ditutup dengan do’a dari Abah akhirnya Ibu dan Kakakku pergi meninggalkan dalem setelah bersalaman, Ibuku dengan Bu Nyai sedang Kakakku dengan Abah. Menuju pondok sebentar untuk memberikan pesan-pesan terakhir dan memberikan uang saku kepadaku untuk satu bulan. Setelah itu aku antar Ibu dan Kakakku menuju jalan raya yang jaraknya agak jauh dari pondok.

Setelah kucium tangan Ibu dan Kakakku, mereka langsung pergi menuju mobil angkot kecil dan masuk ke dalamnya. Sungguh terasa sekali aroma perpisahan antara aku dengan Ibu dan Kakakku. Akupun melambaikan tangan salam perpisahan dengan tetesan air mata membanjiri pipiku. Mobil melaju kencang seolah tidak memberi kesempatan untukku untuk memandang wajah Ibuku tersayang.

*****
(Untuk membaca selanjutnya, klik page berikut)

Hari demi hari tidak terasa berlalu dengan cepat, tidak terasa pula dua tahun sudah aku mengabdikan diriku di pondok. Dengan berbagai kesibukan dan kegiatan belajar serta menghafal. Aku semakin mengenal segala sesuatu tentang pondok. Teman semakin banyak, baik dari kalangan santri pondok ataupun santri lain yang tidak tinggal di pondok. Termasuk kedekatanku dengan Gus Fahmi yang baru saja menuntaskan studinya di Kairo Mesir setahun yang lalu. Beliau adalah orang yang sangat santun dan ramah terhadap siapapun. Tubuhnya yang tegak dan wajahnya yang ganteng menambah sinar keilmuannya. Beliau kalau berjalan selalu menunduk dan kalau berbicara santai sekali dengan sedikit banyolan, sama seperti Abah yang memang sangat humoris. Tapi tidak mengurangi sedikitpun kewibawaannya. Gus Fahmi sangat dekat denganku, saking dekatnya orang sering menyebut kami saudara kembar, mungkin karena sama-sama mempunyai nama Fahmi.

Aku senang bisa dekat dengan Gus Fahmi. Orangnya dermawan, sabar dan tidak sombong. Beliau tidak pernah membanggakan dirinya sebagai putra pengasuh pondok, beliau juga tidak pernah menyombongkan ilmunya, segudang prestasinya hanya beliau jadikan pembangkit semangat untuk para santrinya. Beliau hanya sering mengatakan bahwa semua yang Allah berikan kepadanya adalah titipan yang pasti akan diminta kembali.

Awal kedekatanku dengan Gus Fahmi yaitu ketika Gus Fahmi mengetahui bahwa aku adalah adik dari teman dekatnya sewaktu aliyah dulu. Hingga akhirnya sekarang aku sudah menggantikan posisi kakakku sebagai teman dekat Gus Fahmi. Beliau sering sekali bercerita banyak tentang masa lalunya. Termasuk keinginannya untuk segera menikah. Tapi beliau adalah termasuk tipe laki-laki yang pemalu dan tertutup, yang tidak begitu mengenal kaum hawa. Sampai-sampai santri-santri putri di pondoknya saja beliau tidak pernah melihatnya. Keinginannya untuk menikah sepertinya besar sekali. Mungkin karena faktor usia dan dorongan dari keluarga.

*****
Desiran angin begitu kencang malam ini. Gerimis yang berjatuhan menambah suasana keheningan malam. Aku lihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00 malam, tapi entah kenapa aku tidak merasa mengantuk sama sekali. Ingin membaca-baca kitab tapi malas, ingin menghafal Nadzom Alfiyah yang sedikit lagi ku khatamkan juga malas. Akhirnya aku hanya diam melamun di dalam kamar.

Aku masih terbayang wajah gadis si pengantar minuman itu. Wajah dan senyumannya kini semakin jelas di ingatanku. Mungkin karena sekarang aku sudah mengenalnya. Namanya adalah Putri Adelia. Gadis jelita yang baru akan beranjak 19 tahun lima hari lagi, tepatnya 14 Februari. Adelia adalah putri dari seorang kiai di desanya yaitu desa Lebak Siu kecamatan Slawi kabupaten Tegal. Adelia adalah seorang gadis yang santun dan cerdas, sehingga di usianya yang masih terbilang sangat muda Adelia sudah berhasil mengkhatamkan Alqur’an di luar kepalanya. Sungguh lengkap kesempurnaannya, paras cantik, kelakuan baik, otak cerdas, keturunan kiai, hafidzoh pula. Subhanallah...! Maha Suci Allah yang menciptakan manusia sebaik-baiknya ciptaan.

Aku dengan Adelia cukup dekat, tapi hanya sebatas teman biasa. Karena kami sering bertemu ketika aku meminta dan mengembalikan kunci kantin pondok untuk membukanya sebagai tugas jaga kantin jam malam. kebetulan aku dengan Adelia sama-sama penanggung jawab kantin pondok. Adelia menjaga pada waktu siang sedang aku pada waktu malamnya. Kami sering mengobrol walau sebentar saat bertemu tanpa saling berpandangan, hanya sesekali mata kami saling bertabrakan dihiasi sedikit senyumnya, lesungnya sungguh menusuk tajam ke relung hatiku. Senyumnya tidak mau hilang walau sudah berhari-hari. Justru semakin bertambah dan tertumpuk dengan senyum-senyum khasnya setiap berpapasan.

Apa ini yang orang-orang sebut jatuh cinta. Ternyata dahsyat. Sakit tapi indah. Aku jadi semakin sering senyum-senyum sendiri dibuatnya, berpikir hah-hal yang aneh dan menghayal. “Astaghfirullah...! Aku sudah terkena sengatan kesenangan sesaat.” Sentakku dalam hati saat aku semakin dalam memikirkan Adelia. Tapi aku tidak bisa menafikan perasaanku kepada Adelia. Getaran ini sangat dahsyat, begitu cepat mencuat ke ubun-ubun kepalaku.

Hari-hari kulalui dengan perasaan yang tidak karuan. Aku lihat pula dari raut wajah Adelia yang sekarang tampak berbeda dengan sebelumnya. Adelia lebih tertutup denganku. Sepertinya Adelia menyimpan sesuatu di hatinya yang tidak sanggup Adelia sampaikan kepadaku. Sementara aku semakin gila dibuatnya. Ampun ya Allah aku telah terbuai dengan keindahan dunia dengan mengabaikan firman-Mu. Ampun Bapak aku sudah melalaikan pesanmu. Sungguh aku tidak pernah mengharapkan perasaan ini. Semua datang dengan sendirinya.

Di malam yang sepi, di saat semua santri terlelap dalam mimpinya, aku sibuk mencari-cari kertas kosong untuk kutulisi sesuatu tentang yang kualami selama aku mengenal Adelia, dan akan aku sampaikan ini kepada Adelia. Sungguh, dengan ini aku tidak punya maksud sedikitpun untuk menjalin hubungan dengan Adelia, aku hanya ingin Adelia tahu tentang apa yang aku rasakan. Agar semua menjadi jelas dan akupun lega dan terlepas dari belenggu harapan. Akhirnya kumulai tuliskan sesuatu di kertas putih yang aku sobek dari buku harianku. Dengan rasa ragu dan takut tapi tetap kuberanikan.

Kepada: Putri Adelia
Di Singgasana Suci tempat tumpahan segala kesucian dari Dzat Yang Maha Suci.
Assalamu’alaikum.
Jika Cinta memang tidak diciptakan Allah untuk setiap makhluk-Nya...
Aku tidak akan menolaknya.....
Jika Kasih Sayang memang tidak diletakkan Allah di hati setiap makhluk-Nya...
Aku tidak akan membiarkannya....
Jika Rindu memang tidak dijadikan Allah sebagai Bunga untuk makhluk-Nya...
Aku tidak akan mencernanya.....
Tapi kini. Cinta, Kasih Sayang dan Rindu telah kuterima dari-Nya...
Sehingga aku tidak sanggup menolaknya....
Wassalamu’alaikum.
Dariku yang lemah di bawah kuasa-Nya.
Ihkwan fahmi
Setelah selesai kutulis dan kubaca berulang-ulang. kemudian kertas itu kulipat menjadi empat dan kumasukkan ke dalam amplop kecil berwarna putih.

Keesokan harinya aku berikan langsung kepada Adelia, pagi hari ketika aku mengembalikan kunci kantin kepada Adelia. Dengan perasaan cemas aku menunggu reaksi dari Adelia. Aku takut Adelia tersinggung dan marah karena kelancanganku.

Kutunggu berhari-hari dengan perasaan was-was dan harap-harap cemas. Sekarang sudah berlalu empat hari setelah kusampaikan suratku kepada Adelia. Tapi, entah kenapa Adelia tidak juga membalasnya. Apa Adelia marah denganku, tapi Adelia masih biasa saja saat bertemu. Tidak ada tanda-tanda sedikitpun yang menunjukkan kalau Adelia marah. Tapi kenapa Adelia tidak juga membalas suratku. Sampai pada hari ke enam belum juga Adelia balas. Sampai akhirnya tepat di hari yang sama dan waktu yang sama Adelia memberikan amplop kecil berisikan kertas di dalamnya. Aku tidak tahu tentang apa isi kertas itu. Perasaan cemas bercampur dengan gugup. Kubuka pelahan amplop yang membungkus kertas di dalamnya. Terasa harum wangi khas minyak yang sering Adelia gunakan. Lalu kubuka kertas itu. Kuawali dengan memejamkan mata dan basmalah.

Bismillahirrahmanirahim...
Kepada: Ikwan Fahmi
Di Tempat yang indah tempat tumpahan segala keindahan dari Dzat Yang Maha Indah.
Assalamu’alaikum.
Jika Cinta memang Allah ciptakan untuk setiap makhluk-Nya...
Kenapa kita tidak menerimanya .....
Jika Kasih Sayang memang Allah letakkan di hati setiap makhluk-Nya...
Kenapa kita tidak membiarkannya....
Jika Rindu memang Allah jadikan sebagai Bunga untuk makhluk-Nya...
Kenapa kita tidak mencernanya.....
Dan kini. Cinta, Kasih Sayang dan Rindu telah kau terima dari-Nya...
Sehingga Akupun tidak sanggup menolaknya....
Wassalamu’alaikum.
Dariku yang mengharap segala kuasa-Nya.
Putri Adelia
Ku baca dan ku amati berulang-ulang huruf demi huruf di kertas itu. Perasaan haru, senang, dan susah berkecamuk di hati. Perasaan senang karena isi kertas Adelia sangat indah dan dapat diterima oleh hatiku. Sedang susah, karena aku telah masuk dalam perangkap setan yang selalu menjerat hamba Allah yang sedang menuju jalan kebaikan. “Ampun Allah ... Ampun Bapak ...!” Jeritku dalam hati.
*****
Pagi hari setelah mengaji Tafsir Jalalain beserta Abah dan santri-santri yang lain di pondok, Aku ditimbali Bu Nyai ke dalem. Aku kaget, takut dan bingung. Tidak biasa-biasanya Bu Nyai memanggilku pagi-pagi. Rasa cemas dan was-was mulai timbul di hati. Ada apa sebenarnya. Untuk apa Bu Nyai memanggiku. Apa jangan-jangan kabar hubunganku dengan Adelia sudah terdengar sampai dalem sehingga Bu Nyai memanggilku. Pasti Bu Nyai marah, pasti Bu Nyai akan mengusirku dari pondok karena aku telah melanggar peraturan pondok, pasal II ayat XII yaitu setiap santri dilarang berhubungan dengan lawan jenis selama di pondok. Dengan resiko akan dikeluarkan jika ketahuan. “Ampun Allah ... Ampun Bapak ...!” Jeritku dalam hati. Setelah berdiam sejenak dan berpikir panjang, akhirnya kuberanikan diri menemui Bu Nyai di dalem.

Ku ketuk pintu dalem dengan baru dua kali salam, wajah ramah dan santun Bu Nyai menyambutku. Sedikit membuat aku tenang. Tapi mungkin itu hanya permulaan saja, nanti pasti di dalam aku akan di marahi habis-habisan. “Ampun Allah ... Ampun Bapak ..!” Jeritku dalam hati berkali-kali.
“Silahkan duduk Kang!” Sambut Bu Nyai dengan panggilan khas santri.

Tanpa berkata apa-apa aku langsung duduk di kursi paling pinggir di ruang tamu. Disusul dengan Bu Nyai yang duduk di depanku agak jauh.

“Gini kang, saya mau tanya sama sampean, sampean kan teman dekatnya Fahmi. Fahmi pasti sering cerita banyak sama sampean. Fahmi pernah bercerita apa saja sama sampean. Terutama yang berkaitan dengan pendamping hidupnya.” Tanya Bu Nyai padaku yang membuatku menjadi heran. Kenapa Bu Nyai menanyakan hal itu kepadaku, kenapa Bu Nyai tidak menanyakan langsung kepada Gus Fahmi. Tapi entahlah. Mungkin karena Gus Fahmi orangnya sangat tertutup, dan juga mungkin karena aku salah satu orang yang dekat dengan Gus Fahmi. Gus Fahmi adalah selain teman dekatku dia juga guruku, karena Gus Fahmi ikut mengajar kitab di pondok setiap malam Rabu dan Kamis.
“Maaf Bu Nyai, saya tidak tahu banyak tentang hal itu, Gus Fahmi tidak pernah membicarakan tentang itu. Gus Fahmi hanya pernah bercerita kalau dia ingin menikah secepatnya.” Kataku menjawab pertanyaan Bu Nyai.

“Oh .. Gitu ya. Fahmi itu memang begitu, orangnya pemalu dan tertutup, kalau tidak ditawari dia tidak akan meminta sendiri.”
“Nggeh Bu Nyai. Benten kalih kula.” Candaku memecahkan suasana yang tadinya tegang menjadi segar.

Di tengah perbincanganku dengan Bu Nyai, tiba-tiba datang seorang gadis mengantar minuman yang wajahnya masih tertunduk. Dari kejauhan sungguh indah sekali jalannya. Aura tawadlu’nya terpancar dari cara dia berjalan. Setelah dekat aku tersentak kaget ketika dia meletakkan segelas teh manis hangat di depanku. Pandangan kami saling bertabrakan cukup lama. Ternyata wajah yang tidak asing buatku. Wajah yang indah, beralis tipis, mata bening, hidung mancung, dan sedikit lesung yang menempel di kedua pipinya indah sekali. Dia adalah Adelia. Perempuan yang selama ini mengisi hari-hariku dengan senyumnya dan kata-kata manisnya untukku. Pertemuan pagi itu terasa berbeda sekali. Getaran semakin terasa dahsyat walaupun kami sudah sering bertemu. Kejadian ini mengingatkanku waktu pertama kali bertemu.

Di sela-sela ketermenungan kami, Bu Nyai memecahkan dengan kalimatnya mempersilahkanku meminum teh mumpung masih hangat. Segeralah Adelia kembali ke belakang. Sebelum Adelia keluar melalui pintu belakang Adelia sempat menoleh ke arahku dan memberikan senyuman manisnya untukku. “Subhanallah...! indah sekali.” Gumamku dalam hati. Bu Nyai meneruskan perbincangannya yang sempat terputus.

“Kalau menurut sampean. Siapa ya kira-kira perempuan yang cocok untuk Fahmi?” Tanya Bu Nyai, membuat aku tersenyum kecil dalam hati. Lama-lama pertanyaan Bu Nyai mulai ngelantur. Sebenarnya aku kan tidak ada hubungan apa-apa dengan Gus Fahmi, Abah, dan Bu Nyai, tapi kenapa aku yang diajak rembukan.
“Maaf Bu Nyai kula tidak pantas menjawabnya, saya rasa Bu Nyai lebih tahu masalah itu.”
“Ya. Sebenarnya saya mempunyai calon untuk Fahmi, Tapi apakah Fahmi mau dengan pilihan saya?”
“Dicoba saja Bu Nyai, Gus Fahmi itu kan penurut sekali kalau sama Abah dan Bu Nyai.”
“Baiklah, terimakasih ya kang.”
“Nggeh, Bu Nyai.”

Waktu berlalu dengan cepat. Sekitar dua bulan setelah aku membicarakan perihal Gus Fahmi dengan Bu Nyai. Tepatnya tanggal 03 April 2010, aku lihat wajah Gus Fahmi tampak beda dari biasanya. Wajahnya yang ganteng terlihat lebih bersinar dengan raut wajah yang gembira.

“Ada apa tho Gus? Kok sepertinya sedang bergembira. Oh .. jangan-jangan Gus Fahmi sedang saqotho love ya?” Sapaku dengan candaan.
“Apa itu Kang saqotho love?”
“Ih .. Gus ini gimana sih. Bertahun-tahun di luar negeri kok tidak tahu saqotho love. Saqotho itu bahasa arab yang artinya jatuh, sedangkan love .....” Belum selesai aku menjelaskan. Gus Fahmi langsung menyahut.
“Oh .. Iya iya. Jatuh cinta!” Sahutnya dengan tertawa kecil khas Gus Fahmi.
“Ya benar Kang, aku sedang jatuh cinta, dan ini bukan sekedar cinta biasa. Cinta ini tidak akan kunodai dengan perzinaan ala setan, melalui hubungan pacaran. Aku ingin langsung menikahinya. Cinta yang didasari karena Allah akan membuahkan kasih sayang yang abadi.”
“Nggeh Gus Fahmi yang sedang berbahagia...! Kalau boleh, kasih tahu dong siapa sih perempuan yang berhasil menaklukkan hati seorang Gus Fahmi yang bergelar sarjana terbaik lulusan Cairo Mesir. Sekaligus pewaris tunggal Pondok Pesantren Kanzul Mahabbah Pati.”
“Ah .. kamu Kang terlalu berlebih-lebihan. Nanti saja kalau sudah positif aku kasih undangan spesialnya untuk sampean.”
“Terima kasih Gus.”

*****
Hari-hariku sepi tanpa kehadiran Adelia. Tanpa senyum dan sapa Adelia. Sejak dua tahun yang lalu Adelia keluar dari pondok meninggalkanku. Aku sering sekali melamunnya dan merindukannya. Masih terasa sekali saat terakhir Adelia meninggalkanku. Terlihat wajah kesedihan dan tetesan air mata membasahi pipinya yang halus. Hampir tak nampak senyumnya yang indah yang biasa Adelia hadiahkan untukku. Hari itu sungguh sangat mengharukan untukku. Walaupun sekarang kami jauh tapi kami masih tetap berhubungan baik melalui hp atau facebook. Adelia yang sekarang terlihat lebih dewasa dan matang membuatku bergetar dan tak sabar untuk mengajak Ibu dan Kakakku menemui keluarganya.

Aku sering mendiskusikan hal ini dengan Adelia tapi Adelia selalu menolaknya dengan alasan belum siap. Tapi seiring berjalannya waktu akhirnya Adelia menyetujui hal itu, sampai aku pernah berjanji, setelah aku keluar dari pondok nanti aku akan menikahi Adelia. Adelia pun menyetujuinya.

*****
Masa baktiku di pondok tinggal satu bulan lagi. Itu berarti bulan depan aku sudah resmi menjadi alumni Pondok Pesantren Kanzul Mahabbah Pati. Tak terasa waktu sembilan tahun telah kulalui dengan begitu cepat. Segudang pengalam dan cerita kini sudah kukemas dalam otakku.

Walaupun aku pulang dengan hanya bisa membaca Fathul Qorib tapi aku cukup bangga karena ini hal yang jarang terjadi pada santri yang lain. Semoga saja aku mendapat keberkahan dari semua guru-guruku.

Bayang senyum Adelia pun kembali terbesit di pikiranku, aku masih ingat jelas janjiku untuk segera menikahi Adelia. Mungkin Adelia sudah tidak sabar menunggu kepulanganku. Rasa rindu yang menumpuk merancang agenda ke dapan.

Aku masih dalam kamar sambil membaca beberapa sms dari Adelia yang sengaja tidak pernah aku hapus. Sms yang berisi kata-kata indah dan sayangnya. Aku sangat senang membacanya. Maklumlah, semenjak aku dan Adelia berhubungan kami tidak pernah bertemu langsung dan mengobrol layaknya remaja umumnya. Hanya saja kami sering berlempar senyum saat bertukar kunci kantin. Aku terdiam pada satu sms Adelia yang aku anggap paling berkesan. Sms itu bertuliskan.

Mas,,, Q kan s’llu mnjg amnh yg mas fhmi brikn k’pdaQ. Q kan sbr mnunggu smpe mas dah bs bca kitb fthul qarib. Heheheee..
Uhibbuka mas fhmi.
Aku selalu membaca pesan itu setiap hari. Hampir setiap sebelum tidur aku mewajibkan membaca pesan itu.

Belum selesai aku membaca folder kotak masuk di hpku terdengar suara orang memanggilku dari luar kamar. Aku langsung bangun dan membenarkan sarungku yang berantakan setelah tidur-tiduran. Aku kenal jelas suara itu, pasti Gus Fahmi. Setelah kubuka pintu kamar ternyata benar dugaanku. Kulihat Gus Fahmi tersenyum lebar dengan menyembunyikan tangan kirinya di belakang tubuhnya dan tangan kanananya menjabat tanganku.

“Oh .. Gus Fahmi, dalem Gus, ada apa?”
“Ah .. tidak ada apa-apa.”
“Terus kenapa malam-malam gini Gus Fahmi datang ke pondok dengan wajah yang berbinar-binar. O.. aku tahu, Gus Fahmi pasti ...”
“Sstt ..! kali ini sampean tidak boleh menebak-nebak, biar aku saja yang memberi tahumu. Maksudku kesini aku mau memenuhi janjiku yang dulu, aku kan pernah janji sama kamu akan memberi tahu siapa calon istriku. Sekarang aku sudah bisa memberitahumu karena semua sudah positif. Ini undangannya, jangan lupa datang ya. Soalnya kan pernikahannya masih tiga bulan lagi, sedangkan sampean bulan depan sudah pulang kampung.” Jelas Gus Fahmi sambil menyodorkan undangan.
“Insyaallah Gus, aku akan usahakan. Masak sih, aku kembarannya Gus Fahmi tidak menghadiri pernikahan saudara kembarku. Aku bahagia sekali, akhirnya Gus Fahmi mendapatkan pasangan hidup. Pasti dia orang yang sangat sempurna. Dan dia juga beruntung sekali mendapatkan suami seperti Gus Fahmi lengakaplah kebahagiaan Gus Fahmi. Dan sempurna sudahlah iman Gus Fahmi.”
“Amin .. ya Rob. Ya sudah aku pamit dulu ya Kang.”
“Ya ... terima kasih Gus atas undangannya.” Jawabku sambil kuantar Gus Fahmi sampai tempat Gus Fahmi melepaskan sandalnya. Lalu aku kembali ketika Gus Fahmi sudah benar-benar hilang dari pandanganku.

Sesampainya di kamar, aku kembali menutup pintu dan mengganti bajuku dengan kaos yang biasa kupakai untuk tidur. Kaos itu adalah pemberian dari Adelia waktu aku berulang tahun. Harum kaos itu masih terasa sekali sampai sekarang aroma khas Adelia. Aku sengaja memakainya setiap tidur agar aku dapat selalu mengingat Adelia walaupun dalam keadaan tidur.

Sebelum aku tidur aku teringat undangan yang baru saja Gus Fahmi berikan yang aku letakkan diatas tumpukan kitab-kitab. Segara kuraih undangan itu. Sekilas kulihat sampulnya indah sekali memang seperti janji Gus Famhi ini spesial untukku.

Setalah kudekatkan undangan itu denganku tulisannya tampak jelas terbaca. Yang kutuju adalah nama calon istri Gus Fahmi.

Dari sampul depannya hanya bertuliskan huruf “F&P”, mungkin sebagai isyarat nama depan keduanya, F adalah Fahmi Abbas sedangkan P masih dalam pencarianku. Aku semakin penasaran siapa sih orang yang beruntung itu, apakah aku mengenalnya, ah.... tidak mungkin. Gus Fahmi kan kenalannya banyak sekali. Langsung kubuka undangan yang berwarna kuning emas dengan hiasan batik disetiap sudut kertas undangan itu. Kubuka plastiknya dan kubuka dengan semangat lipatan undangan itu. Langsung mataku kutujukan kepada sebuah nama. “GLARRRR...!!” seperti suara petir menyambar hatiku merusak dan menghancur remukkan jantungku, sejenak menghentikan nafasku dari aktifitasnya. Aku kaget sungguh tak menyangka ternyata nama yang diisyaratkan dengan huruf P didepan sampul undangan itu adalah Putri Adelia. Orang yang selama ini aku impi-impikan dan kusayangi, bahkan orang yang sebentar lagi akan kujadikan kekasihku yang halal. Hatiku pecah dibuatnya dalam sekejap. Seperti kaca yang baru saja terlempar batu dan pecah dengan suara yang sangat keras, berserakan kemana-mana.

Aku tak dapat menggambarkan bagaimana perasaanku saat itu, rasa sakit yang begitu dalam menusuk seperti baru saja disengat oleh ribuan lebah. Sakit sekali.

Sementara undangan masih ditanganku aku langsung teringat dengan Adelia. Sosok gadis jelita si pengantar minuman yang kukenal sangat sopan dan cerdas. Gadis yang kukenal dengan wajahnya yang cantik dengan bulu mata yang lentik, hidung mancung dan lesung pipi penghias senyumnya. Gadis yang selalu menunduk setiap berjalan. Gadis yang tak pernah ingkar dengan janjinya. Kini dia dalam sekejap berubah menjadi orang yang sangat kubenci. Karena dia telah menghianatiku. Aku tidak menyangka dia bisa setega itu denganku. Padahal dia pernah berjanji akan setia menungguku. Tapi kenapa dia ingkar. Kenapa dia tidak sabar,. Aku kecewa, aku marah dan aku benci pada Adelia.
Langsung kubuka kaos yang sedang kupakai. Kaos yang sangat kusukai, karena merupakan satu-satunya kenang-kenangan dari Adelia. Kubuang ke lantai dan kuinjak-injak semauku sambil menyumpah kekecewaan. Hingga akhirnya aku lemas dan aku duduk menangis menerima kenyataan yang sangat menyakitkan. Perasaan yang kurasa sudah tidak dapat tergambarkan lagi, aku hanya lemas dan menangis sesenggukan.

Dalam sedihku aku teringat dengan Gus Fahmi. Aku melihat raut kebahagiaan yang tak pernah terpancar dari kegantenganya. Tak mungkin aku menghancurkannya. Gus Fahmi terlihat sangat sayang dan menginginkan Adelia.

Tapi, bagaimana dengan aku. Apakah aku harus merelakan orang yang sangat aku cintai menikah dengan sahabat dekat sekaligus guruku sendiri. Apakah aku harus mengikhlaskan Adelia untuk Gus Fahmi. Tapi, kenapa aku yang harus mengalah. Kenapa harus aku yang merelakan hatiku hancur demi kebahagiaan orang lain. Tapi, apa aku akan melawan Abah, Bu Nyai dan Gus Fahmi. Santri macam apa aku ini jika aku sampai hati melakukan hal itu. Lalu, bagaimana dengan Adelia. Apakah Adelia bahagia dengan Gus Fahmi. Apakah Adelia telah begitu saja melupakan aku sehingga tidak bisa sedikitpun menunda keputusannya. Berbagai pertanyaan dan bayangan timbul di sela-sela isak tangisku.

Sebelum terlambat aku harus menanyakan hal itu dengan Adelia, aku ingin mendengarkan penjelasannya kenapa Adelia sampai hati melakukan hal itu.

Kuambil Hpku. Segera kutelephon nomor Adelia. Kucoba berkali-kali tapi sudah tidak aktif.

*****
Pagi ini terasa gelap sekali. Sepertinya matahari malas memancarkan sinarnya. Awan berkejar-kejaran di atas langit menutupi matahari. Tak lama kemudian gerimis turun rintik-rintik dan disusul dengan hujan yang sangat deras. Suasana alam yang basah oleh hujan mengiringi basahnya hatiku denga air mata. Aku masih bertanya-tanya kenapa Adelia tega kepadaku.

Setelah sarapan di dapur Dalem. Aku langsung ditemui oleh Gus Fahmi yang masih memancarkan kebahagiaannya.

”Gimana Kang, calonku OK tidak?” Pertanyaannya menyambar hatiku. Meremukkan kembali isinya. Aku hanya diam sebentar merasakan hatiku yang masih terisak-isak tangis.
“Kang, Kang.... kok bengong, sampean sakit tho?”
“Ah tidak Gus. Aku mungkin kelelahan.”
“O... Syukur lah kalau begitu. Oh ya bagaimana Kang calonku Si Adelia, OK tidak?” Tanyanya lagi. Semakin menghancurkanku.
Kucoba menjawab walau aku terbakar kecemburuan. Dan sakit yang mendalam. Aku tidak tega menghancurkan kebahagiaan Gus Fahmi.
“O.. Dia. OK! Cocok dengan Gus Fahmi, Oh iya Gus, saya pamit ke pondok dulu ya. Saya mau beres-beres kamar.” Putusku agar Gus Fahmi tidak memperpanjang pembicaraannya tentang Adelia, karena aku sakit mendengarnya.
“Oh ya sudah. Silahkan! terima kasih ya Kang.”

Aku langsung pergi berlari-lari kecil dengan tangan kananku menutupi mataku yang deras dengan air. Aku tidak menghiraukan siapapun yang melihatku. Termasuk ketika aku keluar dari dapur sepertinya Bu Nyai melihatku. “Maaf Bu Nyai, bukan maksudku tidak menghormati Bu Nyai dengan tidak menyapa Bu Nyai. Tapi ini benar-benar keadaan yang tidak dapat kubendung.” Sesalku.

Langsung aku masuk kamar dan kututup pintu sekencang-kencangnya sehingga engselnya terlepas membuat pintu tidak dapat tertutup dengan rapat. Di dalam kamar aku kembali menangis sesenggukkan. Betapa kejamnya dunia ini. Kenapa aku yang harus mengalaminya. Baru pertama kali aku jatuh cinta tapi harus mengalami kenyataan yang sangat menyakitkan.

Aku teringat dengan pesan Bapakku dulu. Untuk jangan sampai tergoda oleh keindahan dunia. Karena keindahan dunia itu hanya sementara. Baru aku rasakan arti pesan Bapakku. Kenapa aku lalai dengan pesan Bapakku. Apakah ini karmaku telah membangkang Bapakku. Memang benar kata Bapakku. Seandainya aku tahu semua akan berakhir seperti ini, aku tidak akan mengecewakan Bapakku. Pasti Bapak di alam sana sedang menangis melihat aku bersedih. Seandainya Bapakku masih hidup pasti ia hanya berkata rasakanlah akibatnya. "Maafkan aku bapak.” Sesalku dalam hati.

*****
Hari-hari akhirku di pondok hanya menyisakan penyesalan dan kesedihan. Sementara Gus Fahmi setiap hari selalu bercerita tentang Adelia yang membuat aku semakin terbakar kecemburuan. Tapi aku tidak bisa menampakkannya di depan Gus Fahmi. Lagi-lagi aku hanya bisa bersandiwara di depannya. Aku hanya mengimbanginya. Menjawab seperlunya setiap Gus Fahmi bertanya kepadaku tentang Adelia. Sesekali aku puji Gus Fahmi dengan Adelia. Seolah-olah aku mendukung dan menyetujuinya. Tapi sesungguhnya dalam hatiku aku tidak pernah terima. Apakah aku termasuk orang munafik yang lain di kata lain di hati. Sungguh aku tidak sampai hati menghianati Gus Fahmi yang selama ini sangat baik denganku. Walau aku harus mengorbankan hatiku. Bagaikan lilin. Yang menerangi orang lain sedangkan dirinya meleleh dan kepanasan.

Sementara Adelia sampai saat ini tidak dapat kuhubungi sama sekali. Disms dan ditelepon tidak pernah ditanggapinya. Bahkan nomor hpnya sekarang sudah tidak aktif lagi. Aku pernah mencoba menelepon ke nomor rumahnya tapi tidak pernah sekalipun diangkat olehnya. Sikapnya yang seperti ini semakin menambah remuk hatiku. Apakah Adelia sedah benar-benar menghianatiku. Serendah itukah Adelia. Aku masih terus menerus mencoba menghubunginya. Pernah suatu hari aku tuliskan sesuatu di dinding facebooknya tentang beberapa pertanyaanku yang berkaitan dengan kejadian ini, juga dengan maksudnya menghindariku. Tapi sampai saat ini Adelia belum juga membalasnya.
*****

Hari berlalu dengan sangat lambat sekali. Seminggu serasa sebulan. Seolah-olah waktu memang berhenti untuk membiarkanku terlarut dalam kesedihan dan penyasalan. Sepertinya waktu pun tersenyum girang meliha keadaanku sekarang yang terisi dengan tangis dan senyum sandiwara. Waktuku sekarang hanya tinggal seminggu untuk menyiapkan segalanya sebelum meninggalkan pondok. Aku tidak tahu mangapa hari ini terasa berbeda dengan hari-hari kemarin. Aku lebih bisa merasa lega dengan kesedihan yang aku alami sebelumnya. Seakan bayangan tentang Adelia telah lenyap dari pikiranku. Sudah dua hari Gus Fahmi tidak menemuiku. Hal ini tidak seperti sebelumnya. Biasanya Gus Fahmi selalu menemuiku untuk mengobrol-ngobrol tentang persiapan pernikahannya dengan Adelia yang kurang dua bulan lagi.

Hari ini aku merasa sepi sekali aku rindu dengan kedatangan Gus Fahmi mengetuk pintu kamarku. Mengobrol ini dan itu. Termasuk tentang Adelia. Walaupun waktu itu aku sangat tidak mengharapkannya. Apa aku sekarang sudah mulai bisa melupakan Adelia. Apakah Adelia sudah tidak ada di dalam hatiku lagi? Gumamku dalam hati.

Karena merasa kesepian aku memutuskan untuk pergi ke Warnet yang letaknya tidak jauh dari pondok. Untuk sekedar iseng dan sedikit refreshing. Kubuka facebookku, aku kaget dengan adanya balasan dari Adelia yang ditulis di dindingku. Terlihat tanggalnya adalah kemarin.

Sebelmny Q mnta mav yg tak trhingga kpd mas fhmi. Mugkn Q skrg adl org yg plg mas fhmi benci dlm hdup mas fahmi. Tak apalah, tp Q hny ingn mjlskan smwny kpd mas fhmi, agr Q tdk sll trbyang2 olh krsa brsalhnQ kpd mas fhmi. Mas.. bukn mksudQ mghndar dr mas fhmi, Q hny malu dg drQ sndr, Q sdh mngcwkn mas fhmi. Tapi demi Allah yg mnggenggam sgl cinta, ini bkn keinginnQ ini adlh hsl msywrh ortuQ dg keluarga gus fahmi. Bpk tdk snggp mnlak lmrn gus fhmi. Q sdh prnh mjlskan ttg hbgan qt kpd ortuQ, tp mrka hny pasif dan tdk mrspon ap2, hnya mnyruhQ utk brpkir mn yg lbh baik antra mas fahmi dan gus fahmi. Q bgug mas.. mas fhmi dan gus fahmi adl sosok org yg sgt smprna di mtaQ. Q bgung mas.. berkali2 Q shlat istkhroh, mmhon kpd Allah utk dibrikan pilhn yg trbaik. Tp isyrat yg allh brikn kpdaQ sllu nama fahmi, dimna q tdk tw fahmi yg mn yg allah pilihkan utkQ. Q bnr2 bgug mas.. sampai akhrnya Q psrah sj dg plhan kdua ortuQ. TRMA KSH MAS.. SDH MNCINTAI Q. Mlai skrg LUPAKAN SAJALAH Q. IKHLASKANLAH Q. Allah sllu brsama org2 yg ikhlas.
Putri adelia.
Aku tak sanggup berbuat apa-apa setelah membaca semuanya. Aku merasa sakit yang kurasakan pada hari-hari kemarin yang mulai bisa hilang sedikit demi sedikit sekarang kembali lagi menggrogoti hatiku. Bahkan lebih tajam dan dalam. Sehingga sakit yang kurasakan sekarang terasa dua kali lipat dengan yang pernah ada. Petir-petir kesedihan bertubi-tubi menyambarku. Merobek dan menghancurkan segala isi di hatiku. Ingin marah, aku tak tahu pada siapa aku marah. Ingin menangis, aku tak tahu untuk apa aku menangis. Maafkan aku Bapak. seandainya saja dulu aku tidak mengabaikan kata-katamu dan aku tidak menuruti nafsu setan pasti semua tidak akan seperti ini. Setelah lelah aku terbenam dalam penyesalan. Aku bergegas kembali ke pondok untuk beristirahat.
Sesampainya di pondok. Aku melihat Bu Nyai sedang berdiri di depan dalem. Melambaikan tangan ke arahku memberi isyarat memanggilku.

“Dalem Bu Nyai.” Kataku sambil mengusap pipiku yang masih agak basah karena air mata.
“Sampean sedang sibuk atau tidak.”
“Tidak Bu Nyai. Memangnya Bu Nyai ingin menyuruh saya apa.”
“Oh tidak. Saya ingin berbicara sesuatu dengan Sampean.”
“Apa Bu Nyai.”
“Ya sudah masuk sajalah dulu. Gini Kang. Saya lihat akhir-akhir ini kok Sampean terlihat murung dan sedih. Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diri Sampean. Berceritalah! Anggap saja saya ini Ibu Sampean sendiri.”
“Mm... tidak ada apa-apa Bu Nyai.” Jawabku dengan tersengal-sengal karena kaget ternyata Bu Nyai mengetahui keadaanku.
“Yang benar Sampean. Jangan membohongi saya. Saya tahu kok apa yang sedang Sampean alami. Bicaralah!”
“Tidak Bu Nyai. Saya benar. Tidak ada apa-apa. Saya hanya sedih, sebantar lagi kan saya keluar dari pondok ini. saya sedih karena harus meninggalkan Abah, Bu Nyai dan Gus Fahmi serta santri-santri pondok.” Jawabku dengan berbohong agar Bu Nyai tidak mengetahui kejadian yang kualami sebenarnya. Aku takut kalau Bu Nyai mengetahui nanti akan membawa masalah dan menghancurkan kebahagiaan Gus Fahmi sekeluarga.
“Sampean jangan berbohong dengan saya. Apa perlu saya katakan apa yang saya ketahui tentang keadaan Sampean akhir-akhir ini” tegas Bu Nyai. Membuat aku tak tahan membendung air mata. Aku hanya diam dan merunduk.
“Fahmi, Sampean itu sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Jadi saya tahu apa yang sedang Sampean alami. Awalnya saya terkejut heran dan kaget melihat sewaktu Sampean berlari dari dapur sambil menangis. Tapi waktu itu masih saya anggap biasa saja. Hari-hari berikutnya kok saya lihat Sampean tampak berbeda dan saya curiga. Saya menanya-nanyakan kepada semua santri tentang keadaan Sampean. Sampai akhirnya saya mendapatkan satu informasi yang jelas dan panjang lebar dari salah satu santri putri tentang Sampean. Yang akhirnya membuat saya terkagum dan salut pada Sampean. Saya tanya jawab dengan jujur. Sejak kapan Sampean menjalin hubungan dengan Adelia?”
Melihatku hanya diam lama. Bu Nyai meneruskan penjelasannya. Sedang aku masih berfikir siapakah orang yang telah bercerita kepada Bu Nyai. Mungkin dia adalah Mbak Putri teman akrab Adelia yang sering diajak curhat Adelia.

“Fahmi Sampean benar-benar hebat. Bagaikan lilin. Saya suka dengan sikap Sampean. Semoga Allah membalas Sampean dengan sebaik-baiknya balasan. Melihat kisahmu. Saya jadi teringat dengan kisah Bapak Sampean.”

Aku tersentak kaget ketika Bu Nyai mengucapkan kata-kata terakhir tadi. Sambil mata Bu Nyai menitikkan air bening dari dalamnya.
“Saya tahu semua tentang Sampean termasuk Bapak Sampean. Bapak Sampean namanya Ikhwan tho? Sama dengan nama Abahmu”
Mendengar cerita Bu Nyai tentang Bapakku. Aku mulai mengangkat kepalaku agar lebih jelas.
“Nama Abah.... Maksud Bu Nyai? Bukannya nama Abah itu Muhammad Abbas.” Tanyaku terheran.

“Ya memang! Tapi, sebelum Abah menggunakan nama itu, dulu nama aslinya adalah Muhammad Ikhwan Abbas. Tidak ada yang mengetahui tentang hal ini. Termasuk namaku yang sekarang menjadi Nurul Hidayah padahal sebelumnya adalah Nurul Fatimah.” Jelas Bu Nyai serius.
“Kok bisa begitu Bu Nyai?” telisikku karena terbawa suasana.

Ceritanya berawal ketika Bapak Sampean masih nyantri di pondok ini. Waktu itu saya, Abah, Bapak termasuk Ibu Sampean sama-sama masih remaja. Bapak Sampean adalah teman dekat Abah. Dekat sekali. Sampai suatu saat saya mengenal Bapak Sampean. Dan kami pernah ‘maaf’ menjalin hubungan. Dulu saya sangat mencintai Bapak Sampean sebelum saya mengenal Abah. Ketika saya lebih dahulu meninggalkan pondok, saya masih bisa menjaga amanah Bapak Sampean. Sampai akhirnya saya harus menikah dangan Abah karena kebingungan saya dalam menentukan pilihan antara Bapak Sampean atau Abah. dan saya tidak sanggup menolak permintaan Ayah saya untuk menerima lamaran Abah. Padahal saya sudah beristikhoroh berkali-kali. Tapi hasilnya sama saja. Isyarat yang Allah berikan adalah selalu nama Ikhwan. Waktu itu Abah masih menyandang nama Ikhwan di belakang nama Muhammadnya. Waktu itu saya benar-benar bingung. Antara rasa bersalah dan malu saya beranikan diri untuk memberi tahukan semuanya pada Bapak Sampean. Walaupun sebenarnya Bapak Sampean sudah mengetahui hal itu langsung dari Abah. Tapi Bapak Sampean berpura-pura tidak tahu dan tetap bersikap biasa saja kepada Abah walau saya tahu pasti hatinya sangat terluka. Mungkin dia tidak mau mengecewakan Abah. Saya tahu Bapak Sampean waktu itu pasti sangat kecewa dengan saya. Tapi mau bagaimana lagi. Allah berkehendak lain. Hingga akhirnya Bapak Sampean mengikhlaskan saya demi teman dekatnya yang sangat dia hormati. Kemudian Bapak Sampean menikah dengan teman dekat saya yaitu Ibu Sampean. Fatimah. Sebenarnya dulu pernikahan saya dengan Abah hampir gagal. Karena setelah dihitung-hitung nama saya dan Abah tidak cocok. Tapi setelah mendapat saran dari salah satu kiai untuk merubah nama saya dan Abah akhirnya kami mengganti nama yaitu seperti yang Sampean ketahui sekarang. Begitulah ceritanya.”
“Subhanallah....!!” Pujiku dalam hati.
TAMAT

HALAMAN SELANJUTNYA:

0 comments:

Posting Komentar